Petualangan Seks Eliza 13 ( Akibat Kenakalanku ) Part 1

Setelah sudah beberapa menit aku terbangun dari tidurku. Walaupun aku sudah merasa cukup enakan, aku masih ingin lebih lama bermalas malasan, dan membiarkan tubuhku yang telanjang bulat dan tersembunyi dalam bedcover ini tetap terbaring, menikmati empuknya ranjangku. Sesekali aku menciumi rambutku yang terhampar di atas bantalku ini, menikmati halusnya rambutku dan juga harumnya bau rambutku ini.

Dan aku sudah kembali tersenyum senyum sendiri karena aku teringat kejadian di hari kemarin bersama Andy, mulai dari sikap canggungnya di sekolah saat menemaniku sampai kembali ke kelasku, dan yang paling membuatku bahagia adalah SMS Andy malam harinya, yang mengingatkanku agar segera beristirahat dan tidur karena ia tahu aku kecapekan. Oh ya dan saat ini aku baru saja merubah warna rambutku menjadi pirang.

Andy tahunya aku kecapekan karena belajar sampai malam, bukan karena ngeseks berkali kali sejak kemarin lusa. Aku memandang jam kamarku, ternyata sudah jam 5:10 pagi. Maka aku menarik nafas panjang, bersiap menjalani hari ini yang entah akan memberikan warna apa lagi pada kehidupanku.

“Auw…”, aku mengeluh perlahan ketika aku melangkahkan kakiku ke kamar mandi.


Kedua betisku masih terasa begitu pegal ketika kupakai berjalan, bahkan liang vaginaku sesekali terasa sedikit ngilu. Ternyata tubuhku masih belum pulih benar setelah kemarin aku terseret dalam pesta seks yang liar itu. Padahal aku sudah beristirahat sepanjang malam tanpa gangguan, bahkan aku sudah tidur lebih awal setelah menerima SMS Andy sekitar jam 9 kemarin malam.

Aku melangkah tertatih tatih ke lemari bajuku untuk mengambil bra dan celana dalamku, juga seragam putih abu abu. Perduli amat dengan ancaman Dedi, hari ini aku memutuskan untuk memakai celana dalam. Seharian kemarin di sekolah aku merasa amat gelisah, membayangkan teman temanku di sekolah tahu kalau aku tidak mengenakan celana dalam. Kalau nanti Dedi menyusahkanku, aku sudah pasrah.

Sesekali aku mengeluh, ketika rasa sakit yang mendera betisku ini mengganggu langkah kakiku. Bahkan kini aku baru merasakan kalau otot perutku juga sedikit kejang, seperti habis melakukan sit up berkali kali saja.

Namun perlahan aku menyadari satu hal yang aneh, entah kenapa aku malah menikmati rasa sakit yang mendera perutku ini.

“Ih… apaan sih aku ini… masa pagi pagi udah kacau gini…”, aku menggerutu dan mengomeli diriku sendiri.

Maka aku berusaha untuk tidak membiarkan pikiranku melayang ke mana-mana. Setelah aku menggantungkan semua helai pakaian yang akan kukenakan dan juga handukku, aku mengunci pintu walaupun aku masih ingat kalau pintu kamarku terkunci. Tetap saja rasanya aneh kalau aku harus mandi tanpa mengunci pintu kamar mandi, dan aku tidak mau kalau aku menjadi terbiasa seperti itu.

Aku mulai memanjakan tubuhku dengan shower air hangat dan cairan sabun mandiku yang wangi, lembut menyegarkan. Setelah selesai, aku segera mengeringkan tubuhku dan mengenakan bra serta celana dalamku, lalu aku menuju meja riasku memandangi bayangan diriku di cermin.

“Sayang kamu udah nggak virgin… harusnya virgin kamu itu hanya untuk Andy… kalau kelak Andy tahu kamu udah nggak virgin, apa Andy masih mau sama kamu?”, aku berkata pada bayangan diriku di dalam cermin, dan kini perasaanku menjadi sedih.

Aku mulai memakai baju dan rok seragam sekolahku. Rasa pegal pada kedua betisku sudah terasa sedikit berkurang. Setelah mematikan AC kamarku, aku memeriksa buku buku yang ada di tas sekolahku, memastikan tak ada yang tertinggal dan tak lupa aku memasukkan ponselku ke dalam tas.

Lalu aku mengenakan sabuk yang biasa kupakai ke sekolah dan bersiap untuk merapikan penampilanku di depan meja riasku, ketika tiba tiba aku mendengar ponselku berbunyi, dan dari deringnya aku tahu kalau ada SMS masuk. Dengan cepat kuraih tasku dan mencari ponselku lalu dengan seegera membaca isi SMS tersebut dengan penuh harap.

‘Pagi Eliza. Kamu sudah enakan? Aku harap hari ini kamu sudah lebih sehat dan nggak capek.’

Ketika aku melihat nama pengirimnya adalah Andy, hatiku kembali berbunga bunga. Aku langsung menulis balasan ucapan terima kasih sekaligus jawaban bahwa aku sudah lebih sehat dan juga sudah nggak capek. Aku senang sekali karena aku merasa Andy mulai berani memberikan perhatiannya padaku.

Setelah aku menyimpan ponselku dalam tas sekolahku, aku kembali bersiap merapikan penampilanku di depan meja rias. Aku memblow rambutku dengan hair dryer sambil menyisir rambutku hingga terlihat rapi dan indah mengembang, lalu aku memberikan sedikit bedak pada wajahku.

Hari ini aku ingin terlihat lebih cantik dan menarik di hadapan Andy, dan aku mengoleskan lip gloss secukupnya pada bibirku.

“Andy… kalau saja kamu tahu… aku senang dengan perhatian yang kamu berikan padaku…”, aku mengguman pelan sambil memandangi diriku di cermin memastikan tak ada yang salah dengan penampilanku.

‘tok tok tok…’, terdengar suara ketukan di pintu kamarku yang membuyarkan lamunan indahku.

“Siapa?”, aku bertanya sambil mengambil tas sekolahku, lalu aku melangkah ke arah pintu kamarku.

“Saya non, makan paginya sudah saya siapkan”, terdengar jawaban Sulikah.




Aku membuka pintu kamarku yang terkunci, dan mengucapkan terima kasih pada Sulikah. Setelah itu aku mengunci pintu kamarku, dan aku mengambil kaus kakiku di lemari kecil yang ada di sebelah rak sepatu, dan aku memakai kaus kaki dan juga sepatuku.

Tiba tiba aku tersadar, entah kenapa Sulikah masih berdiri di dekatku.

“Sulikah? Kenapa?”, aku bertanya heran.

“Non Eliza, hari ini non cantik sekali…”, kata Sulikah yang terus menatapku denganc pandangan kagum.

“Makasih ya”, aku tersenyum senang.

Dalam hati aku berharap di sekolah nanti Andy juga akan memujiku seperti ini, walaupun kalau melihat Andy yang malu malu seperti kemarin, rasanya harapanku itu tidak mungkin terwujud secepat itu.

Aku turun ke ruang makan untuk menikmati sarapan pagi. Aku makan lebih sedikit dari biasanya, karena tiba tiba saja aku takut menjadi gemuk. Aku tak ingin jadi terlihat tidak menarik bagi Andy. Dengan cepat aku menyelesaikan sarapanku, dan setelah mencuci tangan dan mulutku, aku melangkah menuju garasi.

Di sana aku melihat pak Arifin sedang mengelapi mobilku. Ketika aku mendekat, pak Arifin yang melihatku seketika menghentikan pekerjaannya, dan ia menatapku seperti baru pertama kali melihatku saja.

Demikian juga Wawan dan Suwito yang tadinya menyapu langit langit di garasi, kini terpaku melihatku sambil tetap memegang sapu panjang di tangan mereka.

“Pak Arifin, ngelapnya udah dulu ya. Tolong lapnya diminggirkan dulu dong, Eliza udah mau berangkat sekolah nih”, aku berkata pada pak Arifin sambil menunjuk lap yang masih berada di atas kap mesin mobilku.

Tidak ada jawaban dari pak Arifin yang hanya mengangkat lap itu dari kap mesin mobilku, dan konyolnya ia melakukan itu sambil terus menatapku. Ketika aku melihat sekeliling, aku melihat Wawan dan Suwito juga bersikap sama, mereka terus mematung sambil menatapku.

“Hei! Kalian semua ini kenapa sih? Nggak pernah liat cewek cakep ya?!”, aku sengaja membentak dengan suara yang cukup keras hingga mereka semua terkejut.

Suwito sampai hampir terpelanting dari kursi yang dinaikinya, sedangkan Wawan dengan wajah terkejut menjatuhkan sapunya. Pak Arifin sendiri mengelus dadanya berulang ulang. Aku menahan tawa melihat reaksi mereka bertiga ini, tapi aku berusaha tetap memasang wajah seserius mungkin.

“Yah non Eliza, keras amat suaranya… bikin kaget saja!”, gerutu pak Arifin yang lalu mulai mendekatiku.

Wawan dan Suwito turun dari kursi mereka, dan mereka berdua juga mulai mendekatiku dengan pandangan mata mereka yang amat kukenal, pandangan mata mereka di saat mereka begitu gemas dan bernafsu menikmati tubuhku.

“Eh eh… kalian mau apa? Nggak! Nggak mau!!”, menyadari apa yang akan dilakukan oleh pak Arifin, Wawan dan Suwito, aku berseru panik dan cepat cepat masuk ke dalam mobilku, lalu aku mengunci pintu mobilku sebelum mereka berhasil menangkapku.

Tapi aku membuka sedikit kaca pintu mobilku di sebelah kiri, supaya aku bisa mendengar apa kata mereka, juga supaya mereka bisa mendengar jawabanku yang pasti kuusahakan untuk membuat mereka semakin kesal.

“Ayo non Eliza… Sebentar saja non”, kata Wawan dan Suwito hampir berbareng dan mereka menarik narik handel pintu mobilku, mencoba membuka pintu mobilku yang sudah terkunci ini.

“Nggak mau! Nggak mau! Nanti bajuku lecek! Pokoknya nggak mau!”, aku menjawab dengan suara yang cukup keras dan menggelengkan kepalaku berkali kali, tapi aku sengaja mengerling ke arah mereka, dengan gaya yang kubuat semenggoda mungkin.

Ketiga pria itu menatap diriku dengan gemas. Diam diam aku merasa ngeri membayangkan apa yang akan terjadi kalau sekarang ini aku sampai tertangkap mereka. Bisa bisa aku terlambat masuk sekolah karena dipaksa melayani nafsu birahi mereka terlebih dahulu.

Setelah beberapa kali aku menggelengkan kepala dengan kerlingan nakal untuk menjawab permintaan mereka yang terus memaksa aku turun sebentar, akhirnya mereka menyerah juga dan kembali melanjutkan pekerjaan mereka. Pak Arifin mengelap mobil mamaku, sedangkan Wawan dan Suwito kembali naik ke kursi yang tadi mereka pakai dan melanjutkan menyapu langit langit garasi ini.

Sambil tersenyum senyum karena merasa menang, aku menyalakan mesin mobilku. Dan ketika aku melihat mereka bertiga pura pura tak tahu kalau mereka harus membukakan pintu garasi dan juga pintu gerbang untukku, aku menekan klakson mobilku hingga mereka semua terkejut dan semua alat bersih bersih yang ada di pegangan mereka itu kembali terjatuh ke lantai garasi.

Aku sudah tak tahan lagi dan aku tertawa sejadi jadinya sambil menutup kaca jendela mobilku. Pak Arifin yang paling dekat dengan mobilku terlihat bersungut sungut sambil membukakan pintu garasi dan kemudian juga pintu gerbang, sedangkan Wawan dan Suwito kembali menatapku dengan gemas.

Aku meleletkan lidah dengan senang, walaupun aku tahu setelah pulang sekolah nanti mereka bertiga pasti akan membalas dendam padaku, entah dengan cara menjadikanku piala bergilir ataupun piala bersama.

Tapi aku tak perduli, toh tanpa kugoda seperti tadi pun mereka bertiga sudah berkali kali menjadikanku betina mereka saat tak ada siapa siapa di rumah.

Entah nanti apa yang akan mereka perbuat padaku setelah semua yang kulakukan ini, kalau nanti aku benar benar harus sendirian di rumah. Lagi lagi, diam diam aku bergidik ngeri membayangkan perbudakan seperti apa yang harus kujalani setelah aku pulang sekolah nanti.

Setelah pintu terbuka semua, aku segera melajukan mobilku ke sekolah. Aku tak mau memikirkan apa yang akan terjadi dengan diriku nanti, karena di pikiranku saat ini hanya ada satu hal, yaitu aku berharap hari ini Andy menemuiku.

Entahlah, apa hanya karena alasan pinjam buku catatanku atau alasan yang lain, yang penting bagiku aku berharap hari ini Andy melihatku. Hari ini aku sudah merias diriku secantik yang aku bisa, dan ini kulakukan spesial hanya untuk Andy. Aku ingin Andy benar benar tertarik padaku.

-x-

II. Harapan Indah Di Pagi Hari

Masih ada sekitar 15 menit sebelum bel masuk sekolah berbunyi ketika aku sampai di parkiran sekolah. Jantungku berdegup kencang ketika aku melihat Andy baru turun dari mobilnya. Dan ketika aku melihat tempat kosong di sebelah mobil Andy, rasanya aku seperti bermimpi indah, dan aku senang sekali.

Aku ingin membiarkan mimpi indah ini berlangsung dengan sangat lama, maka aku segera melaju dan memarkirkan mobilku di samping mobilnya Andy. Dan Andy sepertinya langsung mengenali kalau ini adalah adalah mobilku. Kini Andy menatap ke arahku dan dengan sabar ia menungguku selesai memarkirkan mobilku ini.

Aku turun dari mobil dan mengunci pintu, dan kami berdua sempat saling pandang untuk beberapa lamanya. Lalu Andy menundukkan wajahnya saat aku tersenyum padanya. Perlahan aku melangkah mendekati Andy, yang kini baru kulihat kalau wajahnya merona merah.

“Hai Andy… makasih ya tadi malam, mm… juga tadi pagi… aku udah sehat kok, juga udah nggak begitu capek seperti kemarin”, kataku pelan.

Hatiku semakin terbuai ketika aku melihat wajah Andy yang tampan itu tersenyum lembut. Tapi Andy masih terus menunduk seperti tak berani melihatku dan aku tersenyum geli melihat kecanggungan Andy.

“Hai Andy…”, aku menyapanya lagi karena Andy tetap menunduk tanpa menjawab kata kataku.

“I… Iya… hai Eliza… kamu… e… kamu…”, suara Andy terdengar begitu gugup.

“Aku kenapa?”, aku bertanya dengan senyum usil.

“Aku… anu… aku senang kamu sudah nggak sakit”, Andy menatapku sekilas, lalu ia kembali menunduk.

“Ooo… makasih ya Andy, kamu baik deh. Mm… ya udah aku masuk ke dalam kelasku dulu ya”, aku berkata dengan riang.

Sebenarnya aku sedikit kecewa, aku tadi berharap kalau lanjutan kata kata Andy tadi itu adalah pujian dari Andy kalau aku terlihat cantik hari ini. Aku jadi sedikit penasaran, apakah sebenarnya Andy itu menganggapku cantik atau tidak. Walaupun begitu, kata kata Andy tadi itu tetap membuatku tersenyum bahagia.

Aku sudah yakin sekali kalau Andy suka padaku, terlihat dari sikapnya yang selalu salah tingkah seperti ini dan kata kata Andy tadi menunjukkan kalau Andy amat perduli padaku.

“Aku… boleh aku temani kamu lagi sampai ke kelasmu, Eliza?”, Andy bertanya dengan suara pelan.

Aku mengangguk senang, tapi Andy menunduk begitu dalam dan ia tak mungkin bisa melihatku. Aku tersenyum geli melihat Andy yang begitu canggung dan salah tingkah di depanku. Apakah ini karena ia juga jatuh hati padaku?

“Andy…”, aku memanggil Andy, dan ketika ia mengangkat wajahnya menatapku, aku menganggukkan kepalaku lagi sambil tersenyum padanya, senyum yang kupasang semanis mungkin.

Andy menatapku dan sekali ini ia tersenyum genit, entah senang atau malu, atau mungkin keduanya. Aku tak yakin, tapi aku merasa tatapan Andy ini amat menghangatkan hatiku. Aku tak tahu kata kata apa yang bisa menggambarkan perasaanku sekarang, yang jelas aku merasakan di pagi hari ini aku mendapat harapan yang indah. Dan aku amat bahagia ketika Andy terus melangkah di sampingku, walaupun Andy yang sesekali menoleh dan tersenyum padaku itu hanya diam membisu.

Sama seperti kemarin, aku merasakan beberapa tatapan iri dari para murid cewek yang melihatku berjalan menuju kelasku dengan ditemani Andy. Lagi lagi aku merasa bangga dan senang, walaupun sebenarnya kami berdua ini belum berstatus sepasang kekasih. Dan kini kami berdua sama sama diam sambil terus melangkah, sampai akhirnya kami berdua tiba di depan pintu kelasku.

“Andy… thanks ya”, aku berpamitan pada Andy.

“Aku… aku juga mau balik ke kelasku dulu Eliza…”, jawab Andi dengan gugup sambil melambaikan tangannya.

“Iya”, aku menjawab sambil balas melambaikan tanganku.

Aku tersenyum senyum sambil melangkah masuk ke dalam kelasku. Tapi ketika aku melihat Jenny yang dengan senyum usilnya itu menatapku dan menungguku di bangkunya, aku menghela nafas panjang sambil terus melangkah untuk duduk di sebelah Jenny. Aku sudah pasrah, hari ini aku pasti digoda dan diledek habis oleh Jenny.

-x-

III. Rahasia Lain Di Gudang Sekolah

Seharian ini tak ada kejadian istimewa, selain Jenny yang sibuk menggoda dan meledekku tentang Andy, juga Sherly yang ikut memperparah keadaan sewaktu kami berkumpul di kantin pada jam istirahat pertama dan, dan juga pada jam istirahat kedua seperti sekarang sekarang ini.

Dan kalau biasanya aku selalu berusaha membalas ledekan mereka, kini aku hanya bisa mengelak atau tersenyum malu, walaupun hatiku rasanya senang sekali. Untung saja bel tanda jam istirahat kedua berakhir ini sudah berbunyi.

“Eh liat-liat… mukanya si Eliz sampai merah gini”, kata Jenny yang tertawa geli.

“Duh… kasihan…”, ledek Sherly dan mereka berdua kembali tertawa geli.

“Kalian ini nggak usah pura pura kasihan deh. Dari pagi tadi kalian terus ngeledek aku, juga ngetawain aku. Kalian semua jahat!”, aku mengomel dan merengek, lalu aku pura pura merajuk.

“Iya iya… sekarang udah nggak kok. Cup cup… jangan nangis deh sayang… Kita balik ke kelas yuk”, ajak Jenny sambil menggandeng tanganku.

“Jen… aku aja yang nggandeng Eliza… istirahat pertama tadi kamu kan udah…”, kata Sherly dengan nada memohon.

“Hmmhh… Iya deh…”, kata Jenny sambil menghela nafas panjang dan menyerahkan tanganku yang ada dalam gandengan tangannya itu pada Sherly.

“Apaan sih kalian ini…”, aku tertawa geli, lucu juga rasanya memikirkan diriku menjadi rebutan Jenny dan Sherly seperti ini, tapi aku menurut saja ketika Sherly menggandeng tanganku.

Kami berbalik arah, dan mereka berdua menemaniku kembali ke kelas. Dan kedua kekasihku ini tak bosan bosannya menggoda dan meledekku tentang Andy. Aku lagi lagi tak bisa membalas, hanya tersenyum malu dan pasrah menerima semua ini. Aku hanya bisa berharap kami segera sampai ke kelasku. Tapi ketika kami sampai di depan pintu kelas, tiba tiba aku merasa ingin buang air kecil.

“Sher… kamu balik ke kelas aja dulu. Jen, aku mau ke toilet, nanti kalau ditanyain pak Totok tolong bilangin aku masih ke toilet dulu ya”, aku menitip pesan pada Jenny.

“Eliza… aku temanin kamu ya…”, Jenny merengek.

“Eh… nggak usah ah… sebentar aja kok”, kataku sambil tertawa geli.

“Ya udah deh, jangan lama lama ya sayang… Sher, aku masuk dulu, bye bye…”, kata Jenny yang lalu saling melambaikan tangan dengan Sherly, kemudian masuk ke dalam kelas.

Sherly sendiri terus menggandeng tanganku. Sebenarnya aku sedikit risih digandeng oleh Sherly dengan mesra seperti ini, tapi aku menurut saja sambil berharap dalam hati semoga tidak ada yang curiga melihat kemesraan Sherly padaku yang sedikit di luar batas ini.

Akhirnya kami sampai di depan pintu kelasnya Sherly, dan aku menunggu Sherly melepaskan gandengan pada tanganku.

“Udah dulu ya Sher, aku ke toilet dulu”, kataku sambil tersenyum pada Sherly.

“Eliza… aku temani kamu ya…”, bisik Sherly di telingaku.

“Ih kamu kok jadi seperti Jenny sih?… Nggak usah deh, aku kan cuma sebentar”, jawabku dengan berbisik pula, dan lagi lagi aku tertawa geli.

“Iya deh, sampai nanti ya Eliza”, kata Sherly dengan gaya kecewa, tapi ia melambaikan tangannya.

“Iya, sampai nanti”, aku menjawab sambil melambaikan tanganku juga, lalu aku segera menuju ke toilet.

Ketika aku akan masuk, aku berpapasan dengan Vera yang baru keluar dari toilet. Kami sempat saling sapa, dan diam diam aku merasa heran, mengapa tadi Vera tersenyum aneh seperti itu ketika ia melihatku.

Entahlah, lalu aku terus masuk ke dalam toilet perempuan ini, dan dengan sembarangan aku memilih salah satu dari enam kamar kecil yang ada di dalam sini. Setelah aku selesai buang air kecil dan merapikan baju serta rok seragamku, aku segera keluar untuk kembali ke kelasku.

“Emmphh…”, aku menjerit tertahan ketika tiba tiba ada sebuah tangan yang membekap mulutku.

Belum sempat aku bereaksi, sebuah tangan yang lain melingkar di depan dadaku dan menarikku ke belakang, dalam dekapan pemilik kedua tangan ini.

Aku meronta dengan perasaan ngeri, tapi dekapan ini terlalu kuat, hingga tanpa perlawanan yang berarti, aku sudah terseret masuk ke dalam gudang yang ada di sebelah toilet, tempat dimana Vera entah diperkosa atau memang sedang melayani Dedi dan Pandu dua hari yang lalu.

Penculikku ini terus menyeretku ke ujung ruang ini, hingga kami ada di balik tumpukan meja dan kursi tua. Tanpa melepas bekapan tangannya pada mulutku, ia menekan pundakku hingga aku berjongkok, dan sesaat kemudian penculikku ini duduk di samping kananku, lalu ia memangku tubuhku di atas pahanya.

“Eliza… kamu jangan ribut! Sebentar lagi ada tontonan yang menarik”, bisik penculik ini di telinga kiriku.

Suara ini membuatku bergidik karena aku tahu ini suara Dedi. Aku terdiam sesaat, lalu aku mengangguk pelan. Lebih baik aku menurutinya, karena kalau aku menimbulkan keributan, lalu banyak yang tahu aku di dalam gudang ini sedang berduaan dengan Dedi, apapun alasannya namaku pasti akan hancur.

Bekapan pada mulutku dilepas, dan aku diam saja tanpa berusaha melihat ke arah Dedi. Di gudang ini entah akan ada tontonan apa, tapi setelah tontonan itu berakhir, aku kuatir Dedi tak akan membiarkanku pergi begitu saja sebelum memaksa aku melayani nafsu birahinya di dalam gudang ini.

Aku sedang tidak mood untuk ngeseks sekarang ini. Diam diam aku berpikir bagaimana supaya hari ini aku tidak harus merelakan liang vaginaku ditembusi batang penis lelaki bejat ini. Mungkin aku bisa mencoba menawarkan servis oral saja dengan alasan aku tak ingin ketahuan orang lain karena aku merintih, atau aku takut ditanyai guru di kelasku karena aku terlalu lama berada di toilet.

Dengan begitu semoga si kurang ajar ini menerima alasanku dan tidak memaksaku untuk ngeseks dengannya. Selagi aku memikirkan apakah ada alasan yang lebih bagus, tiba tiba kurasakan Dedi menggamit lenganku, dan aku mengarahkan pandangan mataku ke arah yang ditunjuk oleh jari telunjuk Dedi.

Aku tertegun melihat masuknya seorang cebol yang langsung kukenali sebagai pelayan salah satu stan di kantin sekolah. Aku tak tahu nama si cebol ini, tapi aku tahu pemilik stan tempat si cebol ini bekerja adalah Cie Fifi, seorang wanita yang menurutku berwajah cantik, usianya sekitar 29 tahun.

Kedatangan si cebol ini membuatku sedikit takut. Aku tahu diam diam si cebol ini suka menatap tajam ke arah Jenny, Sherly, aku, dan juga siswi lain yang sedang makan di kantin. Entah apa yang diinginkan Dedi dengan menyeretku ke gudang ini selagi ia tahu si cebol ini akan masuk ke dalam sini.

Si cebol duduk dengan seenaknya di kursi yang ada di tengah ruangan ini. Aku tak mengerti apa yang sedang dilakukannya, apakah menunggu seseorang, atau ia merencanakan sesuatu yang lain.

Tiba tiba pintu gudang ini terbuka lagi, dan aku tertegun melihat kedatangan Cie Fifi yang masuk dengan raut wajah kesal. Tapi anehnya Cie Fifi malah menghampiri si cebol yang sedang tersenyum senyum menjijikkan.



(Fifi)


“Halo Fifi sayang”, sapa si cebol, sementara Cie Fifi hanya diam tak menjawab.

Sesaat kemudian si cebol berdiri, dan berikutnya jantungku berdebar kencang melihat sebuah pemandangan erotis yang mengejutkan tersaji di hadapanku.

Si cebol menyusup masuk ke dalam rok Cie Fifi yang hanya diam saja. Kepala si cebol yang kini ada di dalam rok Cie Fifi, tepat di depan pangkal paha Cie Fifi membuat bagian depan rok itu menyembul.

“Sshh…”, Cie Fifi mendesah sambil memejamkan mata dan menggigit bibirnya sendiri.

Aku terus memperhatikan bagian yang menyembul dari rok Cie Fifi yang pastinya adalah kepala si cebol itu bergerak gerak, membuat gairahku perlahan bangkit, dan aku harus berusaha mengatur nafasku yang mulai memburu.

“Kenapa cantik? Kamu kepingin digituin seperti Cik Fifi? Kok kamu juga ikut ikut gigit bibir?”, tiba tiba kudengar bisikan Dedi.

Wajahku terasa panas, aku baru sadar kalau ternyata aku juga menggigit bibirku sendiri. Aku menatap Dedi dengan kesal. Tapi tentu saja aku tak bisa berbuat macam macam daripada nasibku malah jadi semakin buruk. Aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku kalau aku membuat keributan yang mengakibatkan si cebol ini tahu aku ada di sini.

Dedi hanya tersenyum senyum, sama menjijikkannya dengan senyuman si cebol tadi. Dan aku tak bisa berbuat banyak ketika Dedi yang memangku tubuhku ini memelukku dari belakang dan mulai menggodaku.

Dengan kedua tangannya yang melingkari tubuhku dari belakang ini, Dedi mulai meremasi kedua payudaraku, kadang lembut, kadang kasar, yang pasti ulah Dedi ini membuatku gelisah dan jantungku berdegup semakin kencang.

Aku tak berani menepis karena aku takut tepisanku mungkin akan menimbulkan suara yang bisa saja terdengar oleh si cebol itu ataupun Cie Fifi. Aku hanya bisa berusaha memegang kedua pergelangan tangan Dedi yang jauh lebih besar dari kedua pergelangan tanganku ini, dan aku mencoba menarik tangan Dedi ke bawah untuk membebaskan kedua payudaraku dari remasan remasan kurang ajar ini.



Tapi tangan Dedi terlalu kuat bagiku untuk kusingkirkan begitu saja. Aku menggeliat lemah, konsentrasiku untuk melihat adegan erotis di hadapanku ini mulai buyar karena aku sendiri sudah mulai terangsang akibat ulah Dedi yang terus meremas kedua payudaraku.

“Ded… hentikan…”, bisikku dengan ketus.

“Ssst!”, Dedi menyuruhku diam, tapi kurang ajarnya kedua tangan Dedi itu melekat erat dan terus meremasi kedua payudaraku.

Sadar akan kemungkinan Cie Fifi mendengar suaraku tadi, aku melihat ke arah Cie Fifi. Ternyata ia sedang memejamkan mata dan mendesah tak karuan sambil memegangi sembulan pada bagian depan rok yang dikenakannya, yang pasti adalah kepala si cebol.

Walaupun jantungku berdegup kencang melihat itu semua, rasa sakit pada kedua payudaraku membuatku kembali menggeliat, dan aku mencoba menghindarkan payudaraku dari remasan remasan nakal ini. Tapi kemanapun aku bergerak, telapak tangan Dedi tetap melekat erat dan terus memberikan remasan pada kedua payudaraku.

Pikiranku mulai kacau dan nafasku mulai terasa sesak. Perlahan tapi pasti, aku mulai tersiksa akibat rasa panas yang mulai menjalari tubuhku ini.

Akhirnya aku memilih berhenti menggerak gerakkan tubuhku, tapi aku mencoba memegang dan menarik kedua telapak tangan Dedi yang sibuk memainkan kedua payudaraku ini. Aku sadar tenagaku tak akan ada artinya bagi Dedi, tapi aku tak mau menyerah begitu saja.

“Mhhh…”, aku mendengar rintihan Cie Fifi.

Perhatianku kembali tertuju pada adegan erotis di depanku. Entah sejak kapan, aku melihat sehelai celana dalam yang tergeletak di dekat kaki Cie Fifi.

Itu pasti celana dalam Cie Fifi yang ditarik lepas oleh si cebol. Dan Cie Fifi yang kini sedikit membungkuk, mendesah dan merintih dengan wajah seperti menahan sakit selagi si cebol sibuk di dalam rok Cie Fifi.




Aku memejamkan mataku, membayangkan di dalam rok Cie Fifi itu tidak ada helai celana dalam yang melindungi vagina Cie Fifi. Dan kini si cebol itu entah sedang menjilati bibir vagina Cie Fifi, mencucup dan memagut bibir vagina Cie Fifi, atau sedang menggoda dan mengaduk liang vagina Cie Fifi dengan lidahnya, atau dengan jarinya.



Rasa panas yang menjalari tubuhku ini semakin menjadi jadi. Aku sudah sangat terangsang, entah karena remasan nakal yang dilakukan Dedi pada kedua payudaraku, atau karena pikiranku yang melayang membayangkan apa yang terjadi di dalam rok Cie Fifi itu.

Dan tubuhku menggigil ketika aku nyaris tak bisa menahan diriku untuk merintih karena Dedi mencium tengkuk leherku, dan keadaan menjadi semakin sulit bagiku ketika aku merasakan jilatan Dedi di tengkuk leherku ini.

Bersambung ke part 2