Petualangan Seks Eliza ( Part Beauty and the Beast )

Taruhan Bola - Entah sejak kapan aku berada di ruangan yang asing bagiku ini. Nyala sebuah lampu kecil di tengah langit langit tak cukup untuk menerangi tempat ini, semuanya remang remang dan tak begitu jelas. Hawa dingin yang kurasakan membuatku kadang menggigil, Agen Bola padahal saat ini aku berpakaian lengkap. Aku mengenakan salah satu stel pakaian santai yang cukup sering kupakai kalau aku berpergian ke mall.
     Namun yang membuatku merasa takut, sekarang ini aku duduk di sebuah kursi, tak bisa bergerak bebas. Kedua pergelangan tanganku yang menyatu di belakang sandaran kursi ini terikat erat. Sedangkan kedua pergelangan kakiku terikat erat pada ujung kiri dan ujung kanan kaki kursi ini. Perutku ini juga terikat pada sandaran kursi, hingga aku tak bisa ke mana mana lagi.
Oh, apa yang terjadi padaku? Apakah aku diculik?
     Selagi aku berusaha mengingat ingat mengapa aku sampai berada di tempat ini, tiba tiba pintu ruangan ini terbuka, dan aku melihat ada seseorang yang masuk dan mendekatiku.
     “Siapa?” tanyaku dengan sedikit panik.
     Tak ada jawaban. Dan yang makin membuatku merasa ngeri, pakaian orang itu serba gelap. Bahkan ketika ia sudah cukup dekat, aku baru melihat kalau orang itu ternyata memakai topeng yang menutupi bagian lingkar kedua matanya, hingga rasanya aku tak mungkin bisa mengenali wajahnya.
     “Kamu siapa? Ka… kamu mau apa…?” desisku ketakutan tanpa bisa berbuat apapun.
     Orang itu seperti tak perduli dengan pertanyaanku, ia malah membelai rambut dengan lembut. Aku tertegun sejenak, dan belum sempat aku berpikir atau berbuat sesuatu, tiba tiba wajah orang bertopeng ini sudah berada sedekat ini di hadapan wajahku, hingga membuatku terhenyak dan menahan nafasku.
    




Sempat kuperhatikan, bentuk bibir, dagu, hidung, dan lingkaran serta bulu matanya, dan aku yakin kalau ia adalah seorang wanita. Aku melihat ia tersenyum padaku, lalu ia mulai mencumbuiku wajahku dengan lembut. Diperlakukan seperti itu oleh seorang wanita yang aku tak tahu berwajah seperti apa, dan entah kukenal atau tidak, jantungku berdegup kencang dan wajahku terasa panas.
     Setelah beberapa lama, kini aku antara pasrah dan menikmati cumbuan ini, dan tiba tiba bibirku dipagutnya dengan mesra. Aku sudah tak bisa berpikir lagi. Dengan memejamkan mata, aku langsung membalas pagutan wanita yang mengenakan topeng itu dengan penuh perasaan.
    


Kami berdua saling berpagut dengan panas, dan baru berhenti setelah akhirnya kami sama sama kehabisan nafas. Aku membuka mataku, dan kini wajah kami berdua tetap saling berhadapan hingga kami bisa saling merasakan hangatnya dengus nafas kami selagi saling bertatapan seperti ini.
     “Kamu siapa?” dengan suara pelan aku memberanikan diri untuk bertanya lagi pada wanita itu, dan memang sebenarnya aku penasaran ingin tahu siapa wanita yang baru saja bercumbu denganku ini.
     Tapi jawaban yang kuterima hanyalah sebuah kecupan lembut pada bibirku. Lalu ia meraba pipiku dengan mesra, membuatku merasa sedikit jengah, namun aku hanya bisa pasrah saja. Dan aku memejamkan mataku ketika ia mengecup pipi kananku, dan ia terus melanjutkan cumbuannya sampai ke telinga kananku hingga aku sedikit menggigil kegelian.
     “Eliza… Cie Cie bukain bajumu ya,” kudengar bisikan yang lebih mirip desahan di telinga kananku.
     Cie Cie? Cie Cie siapa? Aku menatapnya sejenak, heran karena ia mengetahui namaku. Apakah aku juga mengenalnya? Tidak, aku tak bisa mengenali suara Cie Cie ini. Tapi entah kenapa tiba tiba aku merasa aman, dan tanpa ragu aku mengangguk pasrah.
     Dan berikutnya ia membuka kancing bajuku, satu persatu. Ia melakukan itu dengan perlahan, membuatku merasa begitu sexy saat bajuku sudah terbuka sampai setengah bagian.
     


Remasan lembut pada kedua payudaraku ini membuatku terbakar gairah. Dalam keadaan terikat di kursi seperti ini, aku balas mencium leher Cie Cie itu yang kebetulan berada di hadapan wajahku selagi Cie Cie itu mengecup telingaku.
     “Ooh…” Cie Cie itu merintih mesra.
     Kami kembali saling bertatapan, dan Cie Cie itu memagut bibirku dengan penuh nafsu. Aku membalas pagutan itu dengan sejadi jadinya.
     “Cie… Cie Cie ini siapa?” aku bertanya lagi di tengah nafasku yang memburu setelah kami saling melepaskan pagutan ini.
     Lagi lagi ia mengecup bibirku dengan lembut tanpa menjawab. Kemudian ia malah mengeluarkan sehelai kain hitam, yang lalu dilipatnya beberapa kali hingga kain itu berukuran kecil dan memanjang. Aku memejamkan mataku ketika ia menutupkan kain itu pada kedua mataku, dan aku diam saja ketika kain itu dilingkarkan dan diikatkan di belakang kepalaku.
     Aku tak bisa melihat apa apa lagi. Kini aku hanya bisa pasrah menunggu dan menebak nebak apa lagi yang kira kira akan dilakukan Cie Cie itu padaku. Tiba tiba kepalaku jadi sedikit pening saat aku mencoba mengingat mengapa aku sampai berada di tempat ini.
-x-
II. Penyesalanku Akibat Berpura Pura Tidur

“Yul… Yulita! Nanti Eliza bangun!” samar samar kudengar sebuah suara yang kukenal, yaitu suara Cie Natalia!
     “Nggak apa apa deh Nat… kalau bangun, biar nanti kuajak bercinta sekalian,” kudengar suara seorang gadis yang dipanggil dengan nama Yulita itu, dan dari caranya memanggil Cie Natalia, sepertinya Cie Yulita ini teman sebaya Cie Natalia.
     Entah apa yang terjadi, sekarang ini aku sedang dalam keadaan terbaring, bukan dalam keadaan duduk terikat. Walaupun kini tak ada ikatan yang membelenggu kedua tangan dan kakiku, aku sedikit merasa aneh dan kuatir, karena dari tadi rasanya aku tidak bergerak sedikitpun, juga rasanya tak ada yang sempat memindahkanku untuk berbaring di sini.
     Eh? Di mana ini? Dan mengapa aku masih tak bisa melihat apapun? Apa yang terjadi padaku?
     Tapi sekarang aku mulai mengenali aroma ruangan ini. Aku masih berada di kamar Cie Natalia. Dan aku mulai memikirkan tentang perkataan Cie Natalia dan Cie Yulita tadi.
     Seketika aku menyadari tadi itu semua cuma mimpi, dan kini aku sudah terbangun. Dan mendengar suara Cie Natalia tadi, aku tahu ia ada di dekatku, maka aku jadi merasa sedikit tenang.
     Tentang mengapa aku tak bisa melihat, kini aku menyadari ada sesuatu yang menempel dan menutupi pandangan kedua mataku. Mungkin ini adalah kain hitam, seperti dalam mimpiku tadi, tapi rasanya bukan kain biasa.
     Sebuah kecupan lembut hinggap di bibirku. Aku hanya diam saja, tak tahu harus berbuat apa.
     “Yuul… kamu kok ngawur sih!” aku mendengar bisikan Cie Natalia lagi.
     Tapi kecupan ini malah berubah menjadi pagutan hingga aku menahan nafas saat jantungku berdetak kencang dan gairah mulai menghinggapi diriku.
    




 Kalau yang disebut oleh Cie Natalia sejak tadi adalah Cie Yulita, berarti yang sedang memagut bibirku ini adalah Cie Yulita. Dan aku tetap diam, bahkan aku berusaha tak bereaksi sambil tetap menahan nafasku.
     “Yul… kamu gila ya? Jangan terusin ah!” Cie Natalia mulai mengomel walaupun dengan nada berbisik.
     “Mmmhh…” desah Cie Yulita di tengah nafasnya yang tersengal sengal setelah melepaskan pagutannya yang kurasakan begitu mesra itu pada bibirku.
     Aku sendiri sudah hampir meronta karena dadaku terasa sesak, bahkan mungkin aku akan terbatuk batuk kalau ciuman tadi berlangsung beberapa detik lebih lama. Untung saja Cie Yulita sudah melepaskan pagutannya pada bibirku. Dengan sebisanya aku mengatur nafasku yang juga sempat tersengal ini, dan setelah aku berhasil menenangkan nafasku, aku tetap berusaha untuk berpura pura masih dalam keadaan tidur.
     “Yul… kamu ini gimana sih! Liat tuh, hampir aja Eliza bangun!” kudengar Cie Natalia mengomel dengan berbisik setelah mereka berdua sempat terdiam beberapa saat, mungkin karena tadi mereka melihat nafasku yang sempat tersengal sesaat.
     “Tenang deh Nat, sleeping beautymu ini masih tidur kok,” jawab Cie Yulita pelan dengan nada yakin.
     Saat itu juga aku merasakan belaian lembut pada rambutku, pipiku, dan akibatnya getaran halus kembali menjalari tubuhku, menambah siksaan padaku yang sudah cukup terangsang akibat pagutan bibir Cie Yulita yang semesra itu pada bibirku tadi.
     “Tapi Yul…” Cie Natalia kembali berbisik dengan nada kuatir.
     “Nat… kamu kenapa sih?” tanya Cie Yulita balik dengan berbisik pula. “Kamu cemburu ya?”
     “Eh? Yu… Yul… mmmhh…” kudengar Cie Natalia merintih lemah.
    




 Kini aku mendengar rintihan tertahan dari mereka berdua. Aku membayangkan mungkin tadi itu Cie Yulita menyergap Cie Natalia, dan sekarang ini mereka pasti sedang saling berpagut bibir dengan panasnya. Dan, mereka tega membiarkan aku yang kini jadi sedikit kecewa, karena sekarang ini aku sudah mulai terbakar gairah, namun aku tak tahu harus berbuat apa dalam kesendirianku ini.
     Tiba tiba aku jadi ingin tahu, seperti apa ya Cie Yulita itu? Apakah ia juga secantik Cie Natalia?
     Tapi aku tak bisa melihat apa apa, sedangkan kalau aku nekat membuka kain yang menutup mataku ini dan mereka tahu kalau aku sudah bangun, entah apa yang akan terjadi.
     Mungkin saja kami bertiga jadi saling bermesraan dan bercumbu, bahkan saling bercinta dengan panas malam ini.
     Tapi mungkin juga kami bertiga malah menjadi canggung, karena Cie Natalia itu masih sepupuku sendiri, dan aku juga belum mengenal Cie Yulita.
     Mengingat akan adanya kemungkinan yang terakhir itu, aku memutuskan untuk tetap diam, karena selain aku tak ingin merusak suasana, aku menyadari tadi itu aku amat menikmati sentuhan dan cumbuan Cie Yulita pada wajahku saat aku dalam keadaan tak bisa melihat apa apa. Dan aku menginginkan hal itu terjadi lagi.
     Aku memang tak tahu bagaimana wajah Cie Yulita, bentuk matanya, bibirnya, ataupun bentuk tubuhnya, tapi itu semua malah menambah sensasi buatku saat Cie Yulita mencium bibirku tadi. Dan aku berharap akan diperlakukan seperti itu lagi kalau Cie Yulita mengira aku masih tidur.
     “Ngghhk… Yuul…” rengek Cie Natalia mesra.
     Sedang apa ya mereka?
     Duh, kalau begini kan mereka itu membuatku makin iri aja.
     “Mmphh… Yul… udah dong… Kalau Eliza sampai bangun, terus dia liat kita begini, nanti aku kan yang repot!” kudengar suara Cie Natalia memprotes.
     Suasana jadi hening sejenak.
     “Tapi Nat… aku…” Cie Yulita mengeluh.
     “Udah, jangan terusin lagi, please Yul… besok besok kan masih bisa?” protes Cie Natalia. “Lagian, sekarang ini udah jam dua belas malam. Kamu nggak pulang ta Yul?”
     Suasana kembali hening. Ternyata sekarang ini baru jam dua belas tengah malam. Ini artinya aku cuma sempat tertidur sekitar hampir satu jam saja.
     “Ya udah deh… aku pulang sekarang. Tapi antarin aku sampai ke mobil ya sayang…” rengek Cie Yulita.
     “Iya iya…” jawab Cie Natalia dengan nada suara seperti menghibur anak kecil yang manja.
     ‘klik’, kudengar handel pintu kamar ini terbuka, dan mereka meninggalkanku sendirian di dalam sini setelah menutup pintu. Aku menunggu beberapa saat hingga aku yakin mereka sudah turun ke bawah, lalu aku meraba raba kain yang menempel dan menutupi kedua mataku ini, mencoba untuk mencari tahu benda apakah ini, sampai akhirnya aku menyadari dan bisa memastikan ini adalah sebuah blindfold.
     





Tapi aku tak melepaskan blindfold ini, dan aku menaruh tanganku ke dalam bedcover kembali. Jadi Cie Natalia tak akan tahu kalau aku sudah bangun. Dan aku diam menunggu Cie Natalia kembali. Selagi menunggu, aku memikirkan apa yang baru saja terjadi.
     Aku tertidur hampir satu jam. Aku jadi bertanya tanya, sejak kapan dan seberapa lama Cie Yulita mencumbuiku? Apakah aku bermimpi aneh seperti tadi itu karena aku memang sudah dicumbui seperti itu oleh Cie Yulita saat aku masih tertidur?
     Mungkin saja. Dan teringat akan hal itu, tiba tiba wajahku terasa panas. Aku tak tahu apakah aku sempat benar benar membalas pagutan Cie Yulita selagi aku masih tertidur tadi. Dan harus kuakui, tadi itu saat aku dicumbui oleh Cie Yulita yang belum kukenal dan juga belum kuketahui wajahnya selagi aku mengenakan blindfold ini, adalah suatu sensasi baru bagiku. Dan aku amat menikmatinya.
     Kemudian aku teringat saat Cie Natalia dan Cie Yulita saling merintih. Aku cukup yakin kalau waktu itu mereka sedang berciuman. Dan dari percakapan mereka yang tadi, aku rasa mereka memang sudah terbiasa seperti itu, walaupun entah apakah juga sudah sejauh seperti yang aku lakukan dengan Jenny, Sherly ataupun Cie Stefanny.
     Dan teringat itu semua, nafasku jadi sedikit memburu seiring gairahku yang kembali bergejolak. Tapi aku sadar kalau aku harus cepat menekan gairahku ini. Bagaimana aku bisa tidur kalau semua hal erotis itu memenuhi benakku?
     Tiba tiba kudengar pintu kamar ini terbuka, lalu tertutup kembali.
     “Eliza…?” aku mendengar Cie Natalia berbisik pelan memanggilku.
     Aku diam, bingung entah aku harus menjawab atau tetap pura pura tidur.
     “Eliza…” Cie Natalia memanggilku lagi dengan suara yang sepelan tadi.
     Ingin rasanya aku bangun, memeluk Cie Natalia, memuaskan gairahku yang bangkit akibat cumbuan Cie Yulita tadi, yang lalu terputus di tengah jalan dan tak diteruskan itu. Tapi aku takut membayangkan apa pikiran Cie Natalia tentang diriku kalau sampai ia mengerti bagaimana tadi aku pura pura tidur walaupun dihujani ciuman dan pagutan oleh Cie Yulita seperti itu.
     Maka aku memutuskan untuk tetap berpura pura tidur, walaupun sebenarnya aku ingin sekali bercumbu dengan Cie Natalia.
     “Hmmh… untung deh kamu nggak sampai bangun gara gara Yulita tadi,” kudengar Cie Natalia yang berkata pelan dengan nada lega, tampaknya ia sudah yakin kalau aku benar benar masih tidur.
     Sesaat kemudian aku mendengar bunyi saklar lampu yang ditekan. Tampaknya Cie Natalia sudah mematikan lampu utama kamar ini.
     Aku segera memejamkan mataku ketika kurasakan Cie Natalia perlahan melepaskan tali blindfold ini dari kepalaku. Aku berusaha menekan gairahku, dan sebisanya aku tetap memejamkan mataku dengan sewajar mungkin.
     Namun, aku tak menyangka kalau sesaat kemudian Cie Natalia malah membuat keadaan menjadi semakin sulit buatku.
     “Tapi bukan salah Yulita… abisnya kamu memang cantik…” desah Cie Natalia sambil membelai rambutku.
     Dan sebuah kecupan yang begitu mesra pada bibirku membuat perasaanku tersengat. Berikutnya ketika Cie Natalia mulai mencumbui wajahku, perlahan sekali aku meremas sprei ranjang ini dengan kedua tanganku. Sekuat tenaga aku bertahan agar aku tak menuruti perasaanku untuk membalas ciuman dan cumbuan Cie Natalia, apalagi sampai memeluk tubuh Cie Natalia yang pastinya sedang berada dalam jangkauan kedua tanganku ini.
     Entah sampai kapan aku kuat bertahan seperti ini. Pikiranku melayang ke mana mana, apalagi aku tak pernah membayangkan dicium dengan mesra seperti ini oleh Cie Natalia. Tapi untung akhirnya Cie Natalia menghentikan cumbuannya.
     “Tapi… kalau kamu sampai tahu Cie Cie seperti ini… Cie Cie takut kamu nggak akan mau dekat sama Cie Cie lagi…” keluh Cie Natalia yang lalu mengecup keningku.
     Oh… kalau saja Cie Natalia tahu, aku amat suka diperlakukan seperti ini olehnya. Kalau saja aku bisa memberitahunya… ingin rasanya aku menjerit meneriakkan isi hatiku pada Cie Natalia, dan aku mulai menyesal mengapa tadi aku harus pura pura tidur.
     Kemudian Cie Natalia berbaring dengan perlahan di sampingku, dan kini kami berdua berada di dalam bedcover yang sama. Beberapa kali aku merasakan kulit tanganku bersentuhan dengan kulit tangan Cie Natalia, dan rasanya tubuhku menggigil ketika aku harus kembali berjuang menahan gairahku agar aku tidak berbuat sesuatu terhadap Cie Natalia.
     Entah berapa lama, akhirnya Cie Natalia sudah tertidur, aku tahu dari nafasnya yang mulai berat. Kini tinggal aku sendiri yang harus berjuang memadamkan gairahku.
     Sejak tadi aku merasa sedikit kecewa, karena sebenarnya aku sangat ingin bercumbu atau bahkan bercinta dengan Cie Natalia kalau mungkin. Dari kata kata Cie Natalia tadi aku merasa punya harapan Cie Natalia tidak menolak kalau aku mengajaknya bercinta denganku.
     Tapi akal sehatku masih mampu mengingatkanku tentang tujuanku menginap di rumah Cie Natalia.
     Aku ingin bisa beristirahat dengan benar, paling tidak selama beberapa hari. Walaupun jujur saja selama ini aku belum pernah sampai merasa diperkosa oleh tiga pejantanku itu, tapi aku berpikir tubuhku ini bisa remuk kalau harus terus menerus ngeseks dengan mereka setiap hari.
     Bahkan kemarin itu, setelah gairah mereka bertiga itu terbakar hebat akibat kenakalanku, di sore harinya mereka berhasil menangkapku, dan mereka melampiaskan dendam padaku hingga membuatku tersiksa dalam kenikmatan. Dan mereka bahkan membuatku pingsan, tak kuat menahan orgasme yang terus mendera tubuhku. Masih terbayang dalam pikiranku waktu itu mereka bertiga menggendongku begitu rupa dan dengan kompaknya mereka menjarah tubuhku dengan seenak perut mereka sendiri.
     Memikirkan semua itu, tiba tiba gairahku naik kembali. Dan hal ini menyadarkanku untuk berhenti menambah siksaan pada diriku sendiri, atau malah sampai bermasturbasi yang pasti semakin menguras tenagaku. Sebaiknya aku segera tidur untuk memulihkan kondisi tubuhku yang hancur hancuran ini.
     Maka aku mencoba untuk mengusir semua bayangan tentang kehidupan seksku yang tak karuan ini dari dalam benakku. Dengan mencoba mengingat tentang pelajaran di sekolah, memikirkan tentang ujian kenaikan kelas di akhir bulan depan, perlahan aku kembali mengantuk, dan tak lama kemudian aku sudah kembali tertidur pulas.
-x-
III. Pagi Hari Yang Menyenangkan
      Belaian lembut pada rambutku membangunkanku dari tidurku yang nyenyak ini. Tapi aku masih sangat mengantuk untuk membuka mataku dan melihat siapa yang akan menjarah tubuhku pagi ini. Aku masih ingin menikmati tidurku selagi bisa tanpa memperdulikan ulah para pejantanku yang akan segera berbuat sesuka hati mereka pada tubuhku ini.
     Tapi setelah beberapa saat lamanya, malah aku jadi sedikit heran. Hanya belaian lembut pada rambutku? Mana remasan yang penuh nafsu dari tangan tangan mereka pada kedua payudaraku? Apa yang mereka tunggu, sehingga sampai sekarang ini masih belum ada satupun jari tangan mereka yang tercelup masuk ke dalam liang vaginaku?
     Perlahan aku membuka mataku, dan aku sedikit terkejut ketika aku melihat wajah Cie Natalia yang tersenyum manis padaku. Pikiranku segera bercabang ke mana mana, dan aku jadi semakin bingung ketika aku sadar bahwa kamar ini bukan kamarku.
     Akhirnya aku mulai mengerti mengapa sekarang ini aku berada di kamar Cie Natalia. Dan aku segera ingat kejadian tengah malam tadi, tentang kecupan Cie Natalia pada bibirku. Tiba tiba aku sedikit jengah dan wajahku terasa panas.
     “Mmm… pagi Cie…” aku menyapa Cie Natalia dan mencoba bersikap sewajarnya.
     “Pagi Eliza… Sorry ya Cie Cie bangunin kamu, Cie Cie mau ajakin kamu makan pagi,” kata Cie Natalia pelan dan ia berhenti membelai rambutku ketika aku menatap wajahnya.
     Aku baru menyadari, Cie Natalia sudah berpenampilan rapi, dan tentu saja ia jadi terlihat semakin cantik. Beberapa saat kemudian tiba tiba aku melihat wajah Cie Natalia memerah, dan ia memalingkan wajahnya, hingga aku sadar kalau tadi itu aku terlalu lama menatap dan menikmati kecantikan wajah Cie Natalia.
     “Eliza, kamu nggak marah kan Cie Cie bangunin kamu?” tanya Cie Natalia pelan.
     “Eh… nggak apa apa Cie,” jawabku cepat sambil tersenyum malu.
     Cie Natalia bangkit berdiri dan membuka gorden kamarnya. Sinar matahari yang terang langsung menembus masuk ke dalam kamar ini, membuatku menoleh ke arah jam dinding.
     Aduh, ternyata sekarang ini sudah jam setengah delapan pagi! Tanpa berkata apa apa lagi aku segera ke kamar mandi di kamar Cie Natalia ini untuk menyikat gigi, lalu aku membersihkan mukaku seperlunya dan sedikit merapikan rambutku supaya tak terlihat awut awutan.
    Ketika aku keluar dari kamar mandi, aku melihat Cie Natalia yang menungguku, duduk manis di tepi ranjang, dan sepertinya sedang melamun, bahkan sepertinya ia tak menyadari aku sudah duduk di sampingnya. Dan aku perlahan memegang pundak Cie Natalia.
     “Ih kamu… Cie Cie sampai kaget,” Cie Natalia menjerit kecil dan memukul tanganku dengan perlahan.
     “Aduh… hihi… hayo Cie Cie melamun yaa?” aku mulai menggoda Cie Natalia.
     “Eh… Cie Cie… enggak kok!” bantah Cie Natalia.
     “Enggak apa sih Cie? Eliza kan cuma nanyain Cie Cie melamun apa nggak. Eliza kan nggak tahu Cie Cie sedang ngelamun siapa?” kataku sambil meleletkan lidah dengan senang.
     “Emm…” Cie Natalia menatapku sambil menggigit bibir, lalu ia menunduk dan tersenyum malu dengan wajah yang merona merah.
     Aku mulai yakin Cie Natalia sedang melamunkan seorang lelaki pujaan hatinya. Sebenarnya aku masih ingin terus menggoda Cie Natalia, sekalian membalas yang kemarin malam saat Cie Natalia menggodaku soal janjiku dengan Andy. Tapi aku kasihan juga melihat Cie Natalia yang kini tersenyum malu tanpa bisa berkata apa apa, hingga membuatku teringat akan keadaanku di saat aku digoda habis oleh Jenny dan Sherly tentang Andy.
     “Ya udah deh, ayo kita turun Cie,” kataku sambil meraih dan menggenggam tangan Cie Natalia, lalu aku menggandengnya turun ke bawah menuju ruang makan.
     Cie Natalia menurut saja, dan selagi menuju ruang makan kami saling bercanda hingga suasana hari ini rasanya menyenangkan sekali. Entah bagaimana dengan Cie Natalia, yang jelas aku merasakan getaran halus yang menjalari tubuhku saat aku menggandeng tangan Cie Natalia seperti ini. Tapi aku berusaha menekan perasaanku karena aku tak ingin suasana ini jadi rusak gara gara aku.
    Dan kemudian kami bersama sama menikmati sarapan pagi ini, sementara aku diam diam mencuri pandang, menikmati kecantikan wajah Cie Natalia. Sesekali aku menatap wajah Cie Natalia dengan cukup lama saat pandangan mata Cie Natalia sedang tertuju ke arah makanan atau minumannya.

 



Makin lama aku makin terpesona dengan pemandangan indah di hadapanku. Rambut panjang sebahu yang menghias wajah Cie Natalia itu amat halus dan indah. Bibir Cie Natalia itu begitu mungil dan menggairahkan. Kulit Cie Natalia itu begitu putih, rasanya jauh lebih putih dariku. Lalu kedua mata itu…
     “Hayo, kamu kok ngeliatin Cie Cie terus sih? Naksir ya?” tiba tiba aku terkejut mendengar suara Cie Natalia yang ternyata sudah selesai makan.
     “Eh… iya… abisnya Cie Cie cantik sih,” jawabku sambil meleletkan lidah untuk memberikan kesan aku sedang balas menggoda Cie Natalia.
     “Dasar… Kalau gitu kamu jadi teman kencan Cie Cie ke gereja ya,” Cie Natalia menggodaku lagi sambil tertawa.
     Wajahku terasa panas dan aku merasa malu. Sepertinya aku terlalu lama memandangi wajah Cie Natalia hingga akhirnya ketahuan oleh Cie Natalia.
     Duh, bodohnya aku…
     Tapi aku juga merasa senang sekali, karena dengan menggodaku seperti tadi, berarti ada kemungkinan Cie Natalia memang tidak keberatan kalau aku memandanginya seperti tadi. Diam diam aku mulai berharap, aku bisa semakin dekat dengan Cie Natalia.
     Dan tentang ajakan Cie Natalia untuk menemaninya ke gereja, oh… aku akan senang sekali… tapi…
     “Aduh… masih sempat nggak Cie?” aku baru teringat soal ini, dan sadar kalau aku tadi bangun kesiangan dan belum mandi, aku kembali mencari jam dinding. “Jam berapa ya sekarang?”
     “Tenang deh sayang,” kata Cie Natalia. “Masih jam delapan lebih sedikit kok. Nanti kita ke gereja ******** aja. Misa terakhir di sana kan masih sekitar satu setengah jam lagi.”
     “Oh iya… untung deh… kalau gitu Eliza siap siap dulu ya Cie,” kataku sambil menarik nafas lega, dan Cie Natalia mengangguk.
     Aku dan Cie Natalia sudah selesai makan, dan kami menaruh piring kotor kami di dapur. Setelah bergantian menggunakan wastafel untuk membersihkan mulut dan mencuci tangan, kami berdua segera naik ke atas menuju kamar Cie Natalia.
     “Abis itu, kalau kamu nggak ada acara, kamu temanin Cie Cie pergi cari kado buat teman Cie Cie yang ulang tahun ya?” ajak Cie Natalia saat akan menaiki tangga.
     “Iya Cie, Eliza nggak ada acara kok sampai waktu les balet nanti” aku menerima ajakan Cie Natalia dengan senang hati.
     “Thanks ya Eliza… kamu baik deh,” kata Cie Natalia sambil tersenyum, manis sekali.
     “Nggak apa apa Cie, Eliza malah senang kok diajak jalan jalan,” kataku dengan cepat untuk menutupi kecanggunganku karena saat ini jantungku kembali berdegup kencang.
     Aku dan Cie Natalia sudah berada di kamar Cie Natalia. Dan aku membawa satu stel baju untuk berpergian dan juga handuk sebelum masuk ke kamar mandi. Setelah selesai, aku mengeringkan tubuhku dan berganti baju. Lalu aku membersihkan wajahku, dan memakai bedak tipis di wajahku, dan tak lupa aku menyisir rambutku serapi mungkin.
     Diam diam aku menelan obat anti hamil yang tadi juga kubawa bersama baju gantiku. Setelah semuanya selesai, aku segera keluar dari kamar mandi dan menemui Cie Natalia yang sedang menonton TV selagi menungguku.
     “Cie… Eliza udah siap. Berangkat yuk,” aku mengajak Cie Natalia segera pergi
     “Iya, ayo…” Cie Natalia mematikan TV melalui remote dan berdiri sambil menatapku, tapi tiba tiba kata katanya terhenti.
     “Auw… kalau udah rapi gini kamu makin cantik deh Eliza,” sesaat kemudian Cie Natalia memujiku. Tapi berikutnya ia juga menggodaku, “Nggak rugi deh Cie Cie jadiin kamu teman kencan, meskipun cuma sehari.”
     “Thanks ya Cie… aku juga senang kok jadi teman kencannya Cie Cie,” aku berusaha balik menggoda Cie Natalia.
     Senang sekali rasanya mendapatkan pujian dari Cie Natalia, dan kata kata Cie Natalia tentang teman kencan tadi membuat jantungku berdebar aneh.
     Tiba tiba ponselku berbunyi, menunjukkan kalau ada sms yang masuk. Dan aku langsung mengambil ponselku, berharap itu adalah sms dari Andy.
     ‘Pagi Eliza. Sorry ya kemarin aku keterusan nelepon kamu sampai malam, nggak ingat deh kalau kamu masih butuh istirahat. Gimana kamu Eliza? Moga moga kamu udah enakan, tapi kamu jangan lupa istirahat yang cukup ya.’
     Dengan hati berbunga bunga, aku langsung mengetik balasan untuk sms dari Andy ini, supaya ia tidak mengkuatirkan keadaanku.
     “Halo Eliza… gimana kamu pagi ini? Lagi ngapain? Udah makan belum?” tiba tiba Cie Natalia yang sudah berada di hadapanku ini mulai menggodaku.
     “Cie Cieee…” aku merengek malu.
     “Duh… yang lagi kasmaran… Lupa deh kalau udah mau berangkat ke gereja. Eliza, kamu nggak usah bawa mobil deh, kamu ikut Cie Cie aja, jadi kamu bisa balas sms kekasihmu itu di mobil,” Cie Natalia kembali menggodaku.
     “Ya ampun! Sorry Cie,” kataku sambil cepat memasukkan ponselku ke dalam tasku, dan aku jadi malu dan merasa tak enak. “Ayo berangkat Cie.”
     “Eeh… nggak apa apa kok Eliza, nggak usah sampai segitunya deh,” kata Cie Natalia yang tersenyum manis, lalu ia menggandeng tanganku. “Cie Cie cuman lagi godain kamu aja kok. Yuk!”
     Aku menurut saja mengikuti Cie Natalia yang menuju garasi, walaupun sekarang ini jantungku berdebar tak jelas. Selain gara gara senyuman itu, kini… apakah benar sekarang ini Cie Natalia meremas tanganku yang berada dalam gandengan tangannya? Atau ini cuma perasaanku saja?
     Semua ini tetap menjadi teka teki bagiku, karena belum sempat aku bereaksi lebih jauh, kami berdua sudah berada di garasi, dan aku harus rela melepaskan gandengan tangan Cie Natalia ini. Aku masuk ke dalam mobil bersama Cie Natalia, dan kami berdua memulai aktivitas di hari Minggu ini.
-x-
 IV. Derita Dalam Gairah
     “Akhirnya… selesai!” kata Cie Natalia dengan senang saat kami selesai membungkus kado ulang tahun ini dengan rapi.
     “Iya Cie, padahal tadi Eliza udah kuatir lho gara gara jalanan macet waktu kita pulang tadi,” aku menimpali kata kata Cie Natalia dengan lega sambil bersandar di dinding.
     “Cie Cie sih nggak kuatir, kan ada kamu yang bantuin Cie Cie. Makasih ya Eliza,” kata Cie Natalia yang tersenyum manis padaku, lalu ia juga bersandar di sebelahku.
     “Nggak apa apa deh Cie, tadi kan Cie Cie udah nraktir Eliza. Tapi, besok Cie Cie juga harus nraktir Eliza lagi lho!” kataku sambil tersenyum senyum.
     “Memangnya Cie Cie punya hutang apa lagi sama kamu sayang?” tanya Cie Natalia heran.
     “Lhoo, kan nanti malam Eliza bantuin Cie Cie jagain piano?” tanyaku balik sambil meleletkan lidahku.
     “Ooh… jadi gitu ya?!” Cie Natalia mencubit kedua pipiku dengan gemas.
     “Aduh… iya Cie… ampun…” aku merengek manja sampai  Cie Natalia melepaskan cubitannya, dan kami berdua tertawa geli. Lalu kami sempat bersantai dan mengobrol tentang beberapa hal, tentu salah satunya adalah soal bagaimana kami menemukan boneka panda yang dijadikan kado ini.
     “Oh iya Eliza, kamu berangkat ke les balet nanti jam berapa?” tanya Cie Natalia.
     “Jam setengah lima kurang sedikit Cie,” jawabku sambil melihat ke arah jam dinding, ternyata sekarang masih jam tiga sore.
     “Ow… kalau gitu masih ada waktu bentar ya,” kata Cie Natalia sambil melihat ke arah jam dinding.kamu mau bantuin Cie Cie bentar kan? Yuk, ikut Cie Cie,” kata Cie Natalia yang lalu bangkit berdiri.
     Aku mengangguk dan ikut berdiri, lalu aku mengikuti Cie Natalia yang masuk ke sebuah kamar. Cie Natalia menyalakan lampu di dalam kamar ini, dan aku baru melihat kalau kamar ini adalah ruang olahraga.
     “Eliza, kamu tunggu bentar di sini ya, Cie Cie mau ganti baju dulu,” kata Cie Natalia.
     “Iya Cie,” aku menjawab sambil menganggukan kepalaku.
     Cie Natalia masuk ke kamar mandi yang ada di ruangan ini. Aku jadi bertanya tanya, apa Cie Natalia ingin berolahraga? Entah bantuan apa yang diperlukan Cie Natalia dariku, yang jelas sekarang ini jantungku jadi sedikit berdebar, karena aku mulai menebak nebak pakaian seperti apa yang akan dikenakan Cie Natalia nanti.     Apakah aku akan melihat tubuh Cie Natalia terbalut sebuah pakaian senam yang ketat seperti kostum baletku? Atau hanya kostum training biasa?
     Eh? Mengapa aku sangat berharap Cie Natalia akan keluar dari kamar mandi dengan pakaian senam yang ketat?
     Aku segera berusaha mengalihkan pikiranku. Sambil menunggu aku mengamati ruangan ini, yang seperti sebuah gym mini saja. Fasilitasnya cukup lengkap. Sebuah treadmill, sepasang sepeda statis, sepasang exercise ball, dan beberapa set alat latihan angkat berat yang sepertinya untuk Ko Honggo.
     Suasana di ruangan ini cukup hangat, aku tak melihat ada AC di sini. Empat set lampu neon panjang ditambah dengan cermin yang menutup satu sisi dinding, membuat ruangan ini jadi terang benderang.
     Aku mendengar sesuatu dan reflek aku menoleh. Mau tak mau aku terpaku dengan pemandangan indah yang terpampang di hadapanku. Tentu saja bukan karena aku melihat aktivitas Cie Natalia yang sedang membeber matras.
     Melebihi harapanku tadi, sekarang ini Cie Natalia hanya mengenakan kostum training two piece yang ketat hingga aku bisa melihat jelas keindahan lekuk pinggang Cie Natalia, juga perutnya yang putih mulus dan begitu ramping itu benar benar membuatku kagum.
     “Iih… kamu kok ngeliatin Cie Cie terus sih? Udah dong Eliza, jangan ngeledek Cie Cie terus. Cie Cie tau kok kalau badan Cie Cie ini agak endut. Makanya Cie Cie harus berolahraga!” tiba tiba aku mendengar Cie Natalia mengomel panjang pendek hingga aku terkejut setengah mati.
     “Eh… Cie Cie… enggak kok… aku nggak…” aku tergagap panik tak tahu harus menjawab apa.
     Aku tahu Cie Natalia hanya pura pura marah, namun lagi lagi dalam hati aku mengomeli diriku yang mengulangi kebodohanku pagi tadi.
     “Hihi… kamu ini… kok jadi tegang gitu sih? Cie Cie cuma godain kamu aja kok,” kata Cie Natalia sambil menyodorkan sebuah gulungan plastik. “Kamu tolong bantuin Cie Cie pakai ini ya.”
     “Eh… i… iya Cie. Tapi… apa ini ya?” aku bertanya di tengah kegugupanku.
     “Masa kamu nggak pernah liat? Ini namanya body wrapping, Eliza. Cie Cie kan nggak bisa balet seperti kamu, jadi Cie Cie olahraga di rumah sendiri. Dan gunanya body wrapping ini, salah satunya bikin badan berkeringat lebih cepat. Harapannya, lebih banyak lemak di badan Cie Cie yang terbakar waktu Cie Cie berolahraga nanti. Yuk, Cie Cie ajarin cara masangnya ya,” kata Cie Natalia yang mulai membuka gulungan body wrapping itu.
     Ingin aku mengatakan kalau tubuh Cie Natalia itu jelas jelas sangat ideal. Lekukan tubuhnya itu terlihat begitu kencang, dan tentu saja sama sekali tak ada tumpukan lemak di sana. Tapi aku takut kalau Cie Natalia malah menggodaku lagi.
     Berikutnya, aku mengikuti petunjuk Cie Natalia untuk membalutkan body wrapping ini ke tubuhnya, mulai dari kedua paha dan betis yang indah itu, lalu perut yang rata dan sexy itu. Jantungku berdegup semakin kencang, dan aku merasa tubuhku sedikit gemetar saat aku membalutan body wrapping ini pada kedua lengan milik Cie Natalia ini.
     “Thanks ya Eliza,” kata Cie Natalia yang tersenyum sambil memelukku ketika seluruh tangannya sudah terbalut dengan body wrapping ini.
     Walaupun hanya sebentar saja, tapi pelukan Cie Natalia tadi sudah lebih dari cukup untuk menambah siksaan padaku yang sedang berjuang menahan gairahku ini.
     “Mmm…” aku hanya mengguman tanpa berani menjawab.
     Hatiku meronta berdebat dengan akal sehatku. Saat ini aku sudah terbakar gairah dan ingin sekali rasanya aku balas memeluk Cie Natalia. Perasaanku mengatakan bahwa jalan sudah terbuka lebar bagiku kalau aku ingin meluapkan isi hatiku pada Cie Natalia. Aku membayangkan kami berdua sudah saling bercumbu, saling berpagut bibir, atau bahkan bercinta di ruang fitness ini.
     Tapi aku masih ingat tujuanku ke sini adalah mengistirahatkan tubuhku selama beberapa hari dari berbagai aktivitas seks yang akhir akhir ini sudah semakin keterlaluan. Dan aku juga masih sadar bahwa Cie Natalia ini masih sepupuku sendiri.
     Lalu kalau aku mengajak Cie Natalia bermesraan, apakah ia akan pasrah saja dan melayani gairahku seperti Cie Stefanny? Bagaimana kalau nanti Cie Natalia malah jadi canggung, atau marah padaku?
     Tapi bukankah di malam kemarin itu, Cie Natalia sempat memagut bibirku dengan begitu mesra ketika aku terpaksa pura pura tidur?
     “Eliza, masih ada waktu kan sebelum kamu les balet? Temani Cie Cie dulu yah. Kamu pakai aja alat fitness di sini yang kamu suka. Treadmill, bola, terserah kamu deh. Cie Cie mau warming up dulu,” kata Cie Natalia yang sudah mulai melakukan scretching.
     Tapi perhatianku tertuju pada tubuh indah Cie Natalia yang kini bergerak meliuk dan menggeliat di hadapan pandang mataku, membuatku makin sulit menahan gairahku. Nafasku terasa makin sesak, sedangkan aku tak tahu harus berbuat apa.
     Tak lama kemudian aku melihat Cie Natalia mulai lari di atas treadmill. Aku memutuskan untuk duduk santai di lantai dengan bersandar di dinding ruangan ini, sambil menonton Cie Natalia. Beberapa menit kemudian aku melihat body wrapping Cie Natalia basah oleh keringat, sedangkan Cie Natalia sama sekali belum terlihat lelah.
     Aku jadi berpikir, masuk akal juga cara yang digunakan Cie Natalia ini. Dan aku jadi ingin memakai cara yang sama seperti yang dilakukan Cie Natalia ini. Tapi di rumahku kan tidak ada treadmill, masa aku lari keliling rumah dengan mengenakan body wrapping?
     Mungkin aku bisa meminta papa mama untuk membelikanku sebuah ya? Harusnya papa mama juga nggak akan keberatan untuk membuatkan satu ruangan khusus untuk berolahraga di rumah. Lagipula mungkin kokoku tertarik juga.
     Tiba tiba dalam pikiranku ini malah terbayang, bagaimana jadinya kalau aku lari keliling di dalam rumahku dengan tubuhku dalam keadaan terbalut body wrapping. Yang benar saja! Dalam keadaan berpakaian lengkap pun aku harus sering menjadi obyek pesta seks tiga pejantanku itu, lalu bagaimana nasibku kalau mereka melihatku berpenampilan sexy dan menantang seperti Cie Natalia sekarang ini?
     Sudah jelas kalau aku tak akan bisa berolahraga dengan benar, karena tak akan butuh waktu lama sebelum para pejantanku itu segera menangkapku. Lalu mereka mungkin akan langsung merobek robek body wrapping yang membalut tubuhku, dan berikutnya aku harus merelakan tiga liang kenikmatanku ini terisi penuh oleh penis mereka.
     Atau aku bisa meminta mereka untuk membiarkan tubuhku tetap terbalut body wrapping, hingga keringat yang keluar dari tubuhku akan lebih banyak dari biasanya selagi mereka bertiga memuaskan hasrat mereka. Itu berarti, lemak yang terbuang dari tubuhku juga semakin banyak.
     Duh, apa yang baru saja kupikirkan ini? Kok bisa bisanya aku memikirkan manfaat body wrapping kalau aku terpaksa harus ‘berolahraga’ bersama tiga pejantanku itu? Memang masuk akal, tapi aku jadi malu sendiri. Mestinya kan aku berpikir bagaimana caranya supaya aku tak harus terus menerus melayani nafsu mereka itu terhadap tubuhku?
     Aku berusaha tak memikirkan hal itu lagi, dan aku kembali memandang ke arah Cie Natalia yang ternyata sudah selesai menggunakan treadmill. Sekarang ini aku bisa melihat bagian tubuh Cie Natalia yang terbalut body wrapping itu begitu basah dibandingkan dengan yang lainnya.
     Walaupun begitu, aku tak menemukan tanda kelelahan yang berlebihan dari Cie Natalia, malah wajahnya yang merona merah itu terlihat segar sekali. Mungkin body wrapping itu memang membantu olahraga yang dilakukan Cie Natalia menjadi lebih efektif untuk membuang lemak.
     “Eliza, masa kamu cuma nonton aja? Ayo dong, kamu coba aja alat yang kamu suka,” Cie Natalia berusaha mengajakku.
     “Eh… enggak deh Cie. Takutnya kalau Eliza kecapekan, nanti sakit lagi seperti kemarin,” aku mencari alasan untuk menolak ajakan Cie Natalia dengan halus. “Lagian, nonton Cie Cie olahraga kayaknya lebih asyik deh.”
     “Oh iya ya! Sorry Eliza, Cie Cie sampai lupa kalau kamu kemarin abis sakit,” kata Cie Natalia yang kini jadi terlihat kuatir.
     “Eh, nggak apa apa lah Cie, kemarin itu Eliza kan cuma kecapekan,” kini aku yang jadi kuatir kata kataku tadi malah merusak mood Cie Natalia untuk berolahraga.
     “Abisnya kamu sih bikin hari ini jadi asyik buat Cie Cie. Ya udah Cie Cie lanjutin dulu yah,” kata Cie Natalia yang lagi lagi tersenyum manis padaku.
     “Iya Cie…” aku menjawab dengan nada yang kuusahakan sewajar mungkin.
     Aku sudah tak bisa memperhatikan olahraga yang dilakukan Cie Natalia. Senyuman yang semanis itu, ditambah dengan pemandangan yang menggairahkan di hadapanku ketika Cie Natalia menggerakkan tubuhnya yang indah dan sexy itu, oh… aku tak ingin tersiksa lebih lama lagi.
     “Cie… Eliza mau ke kamar mandi dulu ya,” kataku pelan.
     “Lhoo… kan masih ada waktu setengah jam lagi Eliza?” tanya Cie Natalia.
     “Nggak… anu… perut Eliza sakit… Eliza ke atas dulu Cie,” jawabku dengan sedikit tergagap, mungkin karena aku berusaha mencari alasan apa saja.
     “Ooo… iya deh sayang,” kata Cie Natalia.
     Kata kata ‘sayang’ itu  membuat jantungku berdetak makin tak karuan.
     Aku mengangguk sambil tersenyum, dan aku cepat cepat keluar dari ruang fitness ini.
     Setelah itu aku sempat bersandar pada dinding, dan secepatnya aku berusaha menenangkan diriku dari gairah yang berkali kali tersulut saat aku berada di dalam tadi. Perlahan nafasku mulai teratur kembali, dan aku mulai bisa menguasai diriku. Maka aku segera ke atas, karena aku memang sudah harus mulai bersiap untuk pergi ke les balet.
     Saat menaiki tangga menuju ke kamar Cie Natalia, kembali terbayang dalam anganku tentang Cie Natalia yang tadi terlihat begitu sexy. Dan balutan body wrapping pada tubuh yang indah itu benar benar membuat Cie Natalia tampak begitu menggairahkan bagiku.
     Ya ampun, kenapa sih kok sulit sekali buatku untuk tidak memikirkan Cie Natalia?
     Sambil menekan gairahku, aku mulai menyiapkan semua keperluanku untuk mandi, juga sekalian menyiapkan kostum baletku. Sebisanya aku berusaha memikirkan yang lain, apa saja yang penting bukan tentang Cie Natalia, juga bukan tentang semua hal yang bisa membuat gairahku semakin terbakar. Aku tak ingin sampai lepas kontrol dan bermasturbasi di dalam kamar mandi hingga orgasme seperti kemarin.
     Kini aku sudah berada dalam kamar mandi Cie Natalia. Perlahan aku melucuti pakaianku satu per satu lalu aku menaruh semua pakaianku tadi ke dalam keranjang. Dan aku sempat tertegun ketika aku melihat bayangan tubuhku yang telanjang bulat ini di dalam cermin.
     “Eliza… jangan… jangan bermasturbasi…” aku membisikkan kata kata itu dalam hatiku, berusaha mengingatkan diriku supaya aku tidak mulai menyiksa diriku sendiri.
     Aku mengerti sekali akibatnya kalau sampai jari tanganku terlanjur masuk dan menggoda liang vaginaku. Waktu itu tak akan ada satupun yang bisa kulakukan untuk menghentikan kenakalan jari tanganku, lalu akhirnya aku orgasme. Kalau itu terjadi, apa artinya aku menginap di rumah Cie Natalia?
     Sesaat kemudian aku menikmati guyuran air shower yang hangat. Dan nampaknya aku berhasil menekan perasaanku setelah aku mandi keramas hingga tubuhku terasa bersih dan segar. Paling tidak, untuk saat ini aku sudah tak lagi didera keinginan untuk bermasturbasi.
     Rasa lelah yang menderaku beberapa hari ini sudah tak begitu terasa. Dan tak lupa aku membersihkan liang vaginaku yang sempat terasa lembab. Mungkin saat aku terbakar gairah berkali kali akibat membayangkan yang tidak tidak tentang Cie Natalia tadi, liang vaginaku jadi basah oleh cairan cintaku.
     Setelah semuanya selesai, aku mengeringkan rambutku dan juga seluruh tubuhku, lalu aku memakai bra dan celana dalam. Dan aku keluar dari kamar mandi untuk memakai kostum baletku, kostum yang selalu membuatku merasa sexy.
     Entah kenapa, tiba tiba aku jadi ingin sedikit berdandan. Maka aku menyaputkan lipgloss tipis pada bibirku, dan juga sedikit bedak tipis pada wajahku.
    Lalu aku memilih kaus santai dan celana jeans untuk kupakai selama perjalanan menuju ke tempat les balet. Tentu saja tidak lucu kalau aku harus menyetir dengan mengenakan kostum balet, karena aku tak mau lekuk tubuhku menjadi tontonan gratis para pengamen, penjual koran ataupun pedagang asongan yang lalu lalang saat aku terhenti di lampu merah nanti.
     Setelah itu aku menyisir rambutku hingga rapi, dan saat aku sudah siap untuk pergi, aku melihat jam dinding. Masih jam empat kurang sepuluh menit. Kalau aku berangkat sekarang, aku akan sampai di tempat les baletku kira kira jam setengah lima.
     Berarti aku bakal menganggur kira kira setengah jam. Tapi tak apa lah, daripada kalau aku tetap di sini, bisa bisa aku semakin menderita karena harus menahan gairahku terhadap Cie Natalia. Maka aku segera turun untuk berpamitan pada Cie Natalia. Ketika aku masuk ke dalam ruang fitness, aku melihat Cie Natalia sedang asyik mengayuh sepeda statis.
     “Auw… cantiknya sepupuku yang satu ini,” kata Cie Natalia ketika tiba tiba ia menoleh ke arahku.
     “Cie Cie ini… Cie, Eliza mau pergi sekarang ya,” aku berpamitan dengan wajah yang terasa panas.
     “Iya… hati hati di jalan ya sayang. Mmm… oh iya jangan lupa lhoo… nanti kan…?” kata Cie Natalia sambil menatapku seperti ingin memastikan aku ingat tentang servis piano nanti.
     “Iya, tenang deh Cie. Abis dari les balet nanti, Eliza langsung balik ke sini kok, jagain piano Cie Cie supaya nggak dibawa lari sama tukang servisnya. Asyik, besok ada yang nraktir Eliza lagi deh,” kataku sambil meleletkan lidah.
     “Hihihi… awas ya kamu nanti kalau Cie Cie juga udah pulang,” Cie Natalia mengancam dengan mimik muka yang diserius seriuskan namun malah terlihat lucu, dan sesaat berikutnya kami berdua tertawa geli.
     “Ya udah… dadah Cie,” kataku sambil melambaikan tangan, dan setelah Cie Natalia balas melambaikan tangannya, aku langsung keluar dari ruangan yang sejak tadi berkali kali membuatku tersiksa ini, dan aku melangkah menuju mobilku. Setelah mbak Lastri membuka pintu gerbang rumah Cie Natalia, aku berangkat menuju tempat les baletku.
-x-
V. Insiden Di Ruang Ganti Dan Kamar Mandi
      Setelah sempat merasa senang karena lalu lintas di jalanan hari ini begitu lancar, kini aku jadi sedikit kecewa melihat rombong batagor yang tidak dijaga oleh penjualnya itu. Masa sudah habis? Padahal dengan satu bungkus batagor pasti akan membuat empat puluh lima menit sebelum les balet ini jadi tak begitu membosankan.
     Aku berusaha menghibur diriku sendiri, dengan berpikir bahwa aku memang sebaiknya menjaga bentuk tubuhku agar tetap ideal, dan salah satu caranya adalah dengan tidak mengemil. Dengan demikian aku tak perlu merasa kecewa, bahkan aku merasa beruntung.
     Tapi berikutnya aku merasa heran ketika aku melihat pak Agil sedang berdiri mengobrol dengan salah satu tukang parkir yang menjaga parkiran mobil di tempat les baletku ini.
     Pembaca masih ingat dengan pak Agil? Buat yang lupa, atau tak tahu tentang pak Agil karena belum sempat membaca dan mengikuti semua serial Eliza High School Girl Series, silakan membaca Eliza Part 6 yah ^^
     Sekarang ini sudah beberapa bulan sejak kejadian yang waktu itu, ketika aku bersama Cie Elvira mampu ‘menaklukkan’ pak Agil. Aku masih ingat waktu itu Cie Elvira sempat memaksa pak Agil supaya berjanji untuk tidak akan menggangguku lagi.
     Aku sangat berterima kasih kepada Cie Elvira, walaupun sebenarnya bagiku sudah tak ada bedanya kalau pak Agil masih terus menggangguku atau tidak. Toh setelah itu aku masih harus menjalani kehidupanku sebagai betina dari tiga pejantan di rumahku, dan aku malas mengingat tentang berapa banyak lelaki yang telah beruntung mendapat kesempatan menikmati tubuku.
     Kembali ke pak Agil tadi, yang membuatku heran adalah aku sempat melihat mobil Cie Elvira yang sudah ada di areal parkiran. Biasanya kalau Cie Elvira sudah datang, pak Agil pasti ada di dalam tempat les baletku, menikmati tubuh Cie Elvira yang memang sengaja menyerahkan dirinya pada pak Agil. Tapi kalau pak Agil sekarang ini berada di luar sini, bukankah itu berarti bahwa saat ini tak ada yang mengganggu Cie Elvira di dalam sana?
     Tak ada sebungkus batagor untuk meredakan rasa bosan selama aku menunggu di luar sini, dan aku mulai merasa risih saat aku menyadari kalau pak Agil beberapa kali memandang ke arahku selagi ia berbicara dengan tukang parkir itu. Mengingat les balet baru akan dimulai sekitar empat puluh menit lagi, aku berpikir tak ada salahnya kalau aku masuk ke dalam dan mengajak Cie Elvira mengobrol.
     Maka aku turun dari mobil, dan setelah memastikan semua pintu mobilku terkunci, aku segera masuk ke dalam tempat les baletku. Saat melewati pak Agil, aku menghindarkan kontak mata dengannya. Selain aku merasa tak ada perlunya, aku juga jadi sedikit takut kalau tiba tiba pak Agil berubah pikiran setelah saling bertatap mata denganku, lalu ia mengikutiku ke dalam dan memaksaku untuk melayaninya.
     Untung hal yang kutakutkan itu tak terjadi hingga aku sampai di pintu ruang ganti di tempat les baletku ini. Aku cepat cepat mencari Cie Elvira di dalam ruang ganti, tapi anehnya aku tak berhasil menemukan Cie Elvira. Tak ada siapapun dalam ruang ganti ini.
     Oh, makanya pak Agil itu hanya berdiri berdiri di luar. Mana mungkin orang bejat seperti dia itu mau melepaskan kesempatan untuk menikmati tubuh Cie Elvira kalau Cie Elvira ada di dalam sini?
     Tapi, ada dimana ya kira kira Cie Elvira sekarang?
     Entahlah, aku pikir sebaiknya aku bersiap untuk latihan balet saja, dan aku masuk ke dalam ruang yang paling pojok untuk melepas kaus dan celana jeansku, yang kemudian kulipat rapi dan kumasukkan ke dalam tasku. Dan aku sudah akan bersiap memakai sepatu baletku ketika aku mendengar bunyi ‘sreeek’.
     Aku terkejut sekali ketika aku mendengar suara tirai di bilikku yang tadi sudah kututupkan ini dibuka kembali. Siapa? Tenggorokanku serasa tercekat dan aku cepat membalikkan tubuhku.
     “Pak Agil!! Mau apa bapak masuk ke sini?” aku membentak dengan suara pelan, walaupun sekarang ini aku jadi takut sekali.
     Sama sekali bukan karena aku takut akan diperkosa, toh pak Agil juga sudah beberapa kali menikmati tubuhku. Yang kutakutkan adalah saat aku harus melayani nafsu bejat pak Agil, ada teman les baletku yang lain yang datang dan melihat semuanya. Entah apa yang akan terjadi padaku saat itu, yang jelas setelah itu rahasiaku tersebar ke mana mana, dan mungkin nasibku akan semakin buruk.
     “Tenang non Eliza. Waktu itu non kan juga tahu bu Elvira sudah memaksa bapak untuk berjanji supaya nggak akan macam macam sama non Eliza,” kata pak Agil dengan santainya.
     Aku diam setengah tak percaya. Tapi memang aku akan lebih senang kalau pak Agil memang benar benar tak berbuat apapun terhadap diriku.
     “Tapi bu Elvira kan nggak bilang apa apa soal Vera dan… teman teman non Eliza yang lain,” sambung pak Agil lagi, dan ia masuk ke dalam bilik ini.
     Aku sempat terkesiap mendengar kata kata pak Agil yang barusan ini. Apa ia bermaksud mengatakan kalau ia sudah mencicipi tubuh beberapa teman les baletku selain Vera dan aku?
     Dan saat aku menyadari kalau posisi pak Agil sudah sangat dekat denganku, reflek aku langsung berusaha menjauhkan diriku dari pak Agil hingga punggungku tersandar pada sekat di belakangku. Tapi rasanya percuma saja, karena aku masih berada dalam bilik ini bersama pak Agil. Kalau pak Agil mau, ia bisa dengan mudah berbuat apa saja terhadapku sekarang ini, hingga aku merasa malu bercampur tegang.
     “Felina, Mei Ling, dan yang satunya itu… oh iya, Viany yang manis itu. Aah… amoy amoy di sini memang sedap, walaupun jujur saja rasanya memeknya non Eliza ini masih lebih sedap,” bisik pak Agil di telingaku.
     





Mereka? Viany yang selalu terlihat ceria itu? Bahkan yang Felina kalem itu juga kena?
     Dan orang ini memang benar benar kurang ajar ya! Apa perlunya membandingkan nikmat yang ia peroleh dari liang vagina para korban kebejatannya itu? Aku sama sekali tak tersanjung dengan pujian cabul pak Agil tadi, bahkan aku jadi sangat mendongkol.
     “Bapak ini memang kurang ajar! Apa salah kami sama pak Agil?” aku bertanya dengan setengah membentak.
     “Hehe… non Eliza ini… masa non nggak tahu?” pak Agil balik bertanya, dan ia mendekatiku dengan senyuman mesumnya itu hingga aku kembali berusaha melangkah mundur, tapi aku baru ingat kalau tubuhku sudah tersandar di dinding sekat bilik ini ketika aku merasakan punggungku tertahan.
     “Salah mereka itu, ya sama seperti salahnya non,” kata pak Agil sambil menyergapku. “Sudah cantik… pintar ngeseks lagi.”
     Sesaat kemudian aku merintih kesakitan karena kedua payudaraku yang berada di balik bra dan kostum baletku ini diremasi dengan kasar oleh pak Agil. Dan selagi aku terus merintih, pak Agil mulai berusaha untuk memagut bibirku. Aku tak bisa berbuat banyak untuk mengelak, dan ia berhasil memagut bibirku tanpa perlawanan yang berarti dariku. Lidahnya itu melesak masuk, mempermainkan lidahku, bahkan kemudian pak Agil menyedot lidahku kuat kuat.
     Diperlakukan seperti itu, perlahan aku melemas dan keinginanku untuk melakukan perlawanan sudah lenyap entah ke mana. Yang ada kini aku malah terbakar gairah dan mulai menikmati serangan french kiss pak Agil. Kedua mataku kupejamkan selagi aku membalas permainan lidah pak Agil.
     Aku terus terhanyut dalam pergumulan ini ketika kurasakan tangan pak Agil itu meraba raba daerah selangkanganku yang terlindung celana dalam plus kostum baletku. Jantungku berdebar keras, dan aku mendesis lirih ketika salah satu jari jari tangan pak Agil itu menekan kostum baletku. Oh, bagaimana kalau jari itu benar benar berhasil masuk ke dalam liang vaginaku? Bukankah itu berarti jari itu akan merobek stocking yang kukenakan ini?
     Saat itu tiba tiba aku tersadar dari nuansa erotis yang menghanyutkanku ini. Bukan harga mahal dari stocking ini yang kupermasalahkan, tetapi aku pasti akan merasa sangat tidak nyaman kalau nanti itu aku harus mengikuti latihan balet dengan stocking yang berlubang pada daerah selangkanganku. Belum lagi aku akan repot untuk mencari dan membeli stocking yang baru.
     Maka dengan semua sisa tenagaku yang ada, aku langsung mendorong tubuh pak Agil.
     “Hentikan pak! Atau aku laporin bu Elvira!” aku mengancam pak Agil di sela nafasku yang masih tersengal sengal.
     “Hehehe… padahal non Eliza suka kan?” ejek pak Agil sambil tertawa mesum, membuatku semakin malu hingga aku terdiam tanpa bisa menjawab.
     “Sayangnya bapak juga nggak bisa lama lama menemani non Eliza,” kata pak Agil lagi.
     Aku tetap diam, malas menanggapi kata kata yang rasanya amat melecehkanku itu. Dan berikutnya aku sedikit heran melihat pak Agil naik ke kursi yang ada di bilik ini. Kursi seperti itu memang terdapat di setiap bilik yang ada di ruang ganti ini, dan kami para peserta les balet di sini biasanya menggunakan kursi itu untuk duduk saat mengenakan ataupun melepas sepatu balet.
     “Non Eliza, kalau non mau, non bisa naik ke kursi ini. Di sini, ada lubang kecil yang bisa dipakai untuk melihat ke dalam kamar mandi,” kata pak Agil yang menunjukkan jarinya ke satu titik pada bagian kiri atas tembok. “Sebentar lagi bapak mau ke sana.”
     Aku merenggutkan mukaku. Memangnya seleraku ini sudah segitu rendahnya apa, sampai aku harus mengintip orang macam pak Agil ini di kamar mandi???
     “Sekarang ini bu Elvira lagi berada di dalam kamar mandi,” kata pak Agil.
     Kini aku tertegun memikirkan kata kata pak Agil yang seperti menjawab omelanku di dalam hatiku tadi. Jadi Cie Elvira berada di kamar mandi? Sendirian? Sedang apa Cie Elvira di dalam sana?
     Setelah pak Agil turun dan keluar dari sini, aku cepat merapatkan tirai yang menutup bilikku ini. lalu dengan terdorong oleh rasa penasaran, aku menguatkan hatiku dan naik ke atas kursi ini untuk mencari lubang kecil yang dimaksudkan pak Agil tadi, lalu aku mencoba mengintip dari situ.
     Dan berikutnya apa yang kulihat dari lubang kecil itu membuatku sangat terkejut.





  Cie Elvira dan Vera, mereka berdua sama sama telanjang bulat dan saling berciuman!
     Lalu, siapa pria yang wajahnya diduduki Vera itu? Apakah ini berarti suara kecipak yang samar samar kudengar sekarang ini berasal dari jilatan lidah pria itu pada bibir vagina Vera?
     Saat ini Cie Elvira dan Vera sendiri masih saling berpagut bibir dengan panasnya. Dan tiba tiba saja aku merasa tak senang. Namun perhatianku kembali tertuju pada mereka karena aku mendengar suara ketukan yang cukup keras pada pintu kamar mandi.
     “Bu Elvira, ini saya,” aku mendengar suara pak Agil.
     Cie Elvira berdiri hingga aksi saling pagut dengan Vera tadi berhenti. Dan pak Agil langsung masuk ke dalam kamar mandi begitu Cie Elvira membuka pintu itu. Aku sempat melihat Cie Elvira mengunci pintu itu kembali, ketika aku mendengar Vera menjerit manja.
    Ternyata pak Agil yang tiba tiba sudah berada di dalam kamar mandi itu sedang menarik Vera hingga berdiri. Ketika pria itu juga ikut berdiri sehingga aku bisa melihat wajahnya, aku menutup mulutku yang ternganga ini dengan tanganku. Saat ini aku nyaris tak percaya dengan pengelihatanku.
     Pria itu kan… tukang batagor langgananku?
     




Sempat kulihat pak Agil memandang ke arahku tempatku mengintip ini, dengan senyumnya yang memuakkan. Walaupun rasanya pak Agil tak bisa melihatku, tapi aku jadi kesal bercampur malu. Pak Agil seperti begitu yakin kalau aku pasti akan mengintip melalui lubang yang baru saja diberitahukan padaku ini.
     Tapi rasa penasaranku mengalahkan rasa malu yang melandaku sekarang ini, hingga aku masih terus mengintip untuk mengetahuhi lanjutan dari kegilaan yang akan dilakukan oleh pak Agil dan penjual batagor itu terhadap Vera dan Cie Elvira di dalam kamar mandi tempat les baletku ini.
     “Pak Agiiil… Vera masih mau sama pak Bakir…” rengek Vera walaupun kelihatannya Vera sama sekali tidak terlihat keberatan diperlakukan seperti itu oleh pak Agil.
     “Sudah… sama bapak aja, non Vera. Bapak lagi pengin sama non nih,” jawab pak Agil dengan suara yang dimesra mesrakan, dan kulihat pak Agil kembali menatap ke arah tempatku mengintip ini.
     “Iya deh… tapi pak Agil harus bikin ini Vera enak ya…” kata Vera manja dengan jari tangannya yang menunjuk ke arah selangkangannya.
     Aku sampai tertegun mendengar kata kata Vera yang terakhir itu.
     Berikutnya Vera mendesah dan merintih ketika tubuhnya dijarah habis oleh pak Agil. Sedangkan Cie Elvira tak dibiarkan menganggur oleh pak Bakir yang kini sudah mendekap tubuh guru les baletku itu dari belakang. Dan sesaat kemudian aku melihat kedua mata Cie Elvira yang indah itu terbeliak, lalu meredup sayu diiringi rintihan sexy Cie Elvira saat tubuhnya terhentak hentak dalam kekuasaan pak Bakir.
 

  
   


“Ayo dong pak Agil… cepet masukin… Vera udah gatel nih…” rengek Vera.
      Rasanya aku hampir tak percaya kalau Vera bisa mengucapkan kata kata sevulgar itu. Dan gilanya, Vera tak berhenti sampai di situ saja. Sesaat kemudian, kedua tangan Vera itu merayap turun mencari penis pak Agil, dan berikutnya Vera sendiri yang mengarahkan penis itu hingga masuk dan tertelan habis dalam liang vaginanya.
     “Ngghh…” sesaat kemudian Vera melenguh manja, bahkan Vera mulai menggerak gerakkan tubuhnya, mencari kenikmatan dari penis pak Agil yang sudah bersarang dalam liang vaginanya itu.
     Semua adegan yang kulihat itu membuat jantungku berdetak tak karuan. Rasanya tubuhku bergetar ketika kurasakan hawa panas menjalari sekujur tubuhku. Ada apa sih dengan hari ini? Mengapa sejak pagi hari tadi aku mengalami begitu banyak kejadian yang membuatku harus terus tersiksa dalam gairah seperti ini?
Previous
Next Post »
0 Komentar